Anggaran Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) untuk KRL Jabodetabek menjadi sorotan setelah pemerintah berencana mengubah skema subsidi. Tarif KRL Jabodetabek rencananya akan diberikan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai 2025. Kebijakan ini diharapkan bisa membuat anggaran subsidi Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) menjadi lebih tepat sasaran.
Dalam Dokumen Buku Nota Keuangan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2025, subsidi PSO untuk PT Kereta Api Indonesia (Persero) dialokasikan sebesar Rp4,79 triliun. Anggaran ini digunakan untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api, termasuk KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan Light Rail Transit (LRT) Jabodebek.
Anggaran subsidi terus mengalami peningkatan, terutama dalam hal transportasi, baik untuk motor listrik, mobil listrik, dan Kereta Rel Listrik (KRL). Subsidi PSO merupakan hal penting bagi warga Republik Indonesia, terutama dalam hal transportasi yang melibatkan mobilitas dalam beraktivitas.
Semakin besar subsidi yang diberikan pemerintah, maka biaya untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya akan cenderung lebih murah dibandingkan jika tidak ada subsidi. Moda transportasi yang biasa digunakan untuk mobilitas adalah motor, mobil, serta KRL.
Meskipun insentif yang besar diberikan oleh pemerintah untuk motor dan mobil listrik, namun masih sedikit masyarakat yang memanfaatkannya. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan lama masyarakat dalam menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penumpang KRL di wilayah Jabodetabek pada tahun 2023 mencapai 290.890.677 orang. Meskipun jumlah ini naik 35% dibandingkan tahun sebelumnya, namun masih 13% lebih rendah dari tahun 2019.
Dengan jangkauan yang begitu besar, angka subsidi PSO KRL justru mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan insentif untuk transportasi umum, baik angkutan perkotaan maupun jalan perintis.
Menurut Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, lebih bijak jika insentif untuk kendaraan listrik dialihkan untuk perbaikan transportasi umum. Ongkos murah KRL akan sangat membantu pekerja, sesuai dengan penelitian World Bank yang menyarankan belanja transportasi maksimal 10% dari upah bulanan.
Dengan adanya subsidi yang tepat sasaran dan insentif yang memadai, diharapkan mobilitas masyarakat dalam beraktivitas dapat meningkat. Hal ini akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.