Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dengan bijak mengatakan bahwa pemerintah telah meminta PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk mendirikan pabrik pemurnian tembaga di sekitar tambang Timika, Papua. Tujuannya adalah agar fasilitas pemurnian tersebar dan tidak hanya terpusat di Gresik, Jawa Timur.
“Diajak Freeport untuk bangun pabrik di Papua juga, jangan cuma di Gresik aja, supaya nanti pabriknya ada di Timika, Papua. Bangun di Jawa Timur, bangun di Papua, agar pabrik dari Freeport Indonesia bisa merata,” ujar Bahlil dalam sambutannya di Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama, yang dikutip dari Youtube Kementerian Investasi di Jakarta, Senin.
Permintaan ini sejalan dengan rencana peningkatan kepemilikan saham Pemerintah Indonesia di PTFI menjadi 61 persen pada tahun 2041.
“Kita lagi mikirin, begitu aturan keluar, kita bakal beli lagi sahamnya tambah 10 persen. Saat ini kan kita punya 51 persen, kita ingin Indonesia jadi mayoritas lagi, dan negosiasinya sudah selesai dengan Freeport setuju menambah saham 10 persen di atas 2041,” tambahnya.
Saat ini, PTFI sudah menginvestasikan tiga miliar dolar AS untuk membangun pabrik pemurnian di Gresik, Jawa Timur. Pabrik tersebut direncanakan akan mulai beroperasi pada 1 Juli 2024 dengan kapasitas produksi 60 ton emas murni dan 400 ribu ton katoda tembaga.
“Pabrik Freeport mulai 1 Juli ke depan akan memproses konsentrat tembaga dari Timika di Gresik. Dalam setahun, pabrik ini akan menghasilkan 60 ton emas murni, 400 ribu ton katoda tembaga, dan produk turunan lainnya,” lanjutnya.
Menurut Bahlil, pembangunan pabrik pemurnian dan proses divestasi saham Freeport merupakan bagian dari program hilirisasi pemerintah dan menjadi salah satu strategi investasi untuk menciptakan lapangan kerja di masa depan.
“Dunia sedang membicarakan energi hijau dan industri hijau. Pada 2035, bonus demografi akan mencapai puncaknya, dimana 65 persen penduduk Indonesia adalah usia produktif. Oleh karena itu, kita harus merencanakan dari sekarang agar negara kita tidak menjadi konsumtif,” paparnya.
Bahlil juga mencontohkan bahwa cadangan nikel Indonesia mencapai 25 persen dari total cadangan nikel dunia, sehingga kebijakan untuk menghentikan ekspor bijih nikel pada 2019 telah memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia.
“Nilai ekspor nikel kita hanya 3,3 miliar dolar AS pada tahun 2017. Setelah kita berhenti mengekspor bahan mentah, kita mulai membangun industri, dan hasilnya pada 2023 nilainya naik menjadi 33,5 miliar dolar AS atau hampir Rp500 triliun,” tambahnya.
Lebih lanjut, Bahlil mengungkapkan bahwa banyak negara maju yang tidak senang dengan kebijakan Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel. Bahkan, Indonesia sempat digugat oleh Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) terkait kebijakan tersebut.
“Mereka khawatir dengan kekuatan negara kita, dan saya yakin masih ada negara lain yang tidak ingin Indonesia memiliki kedaulatan dalam mengelola sumber daya alamnya sendiri,” jelas Bahlil.
Dengan langkah-langkah strategis seperti pembangunan pabrik pemurnian dan kebijakan divestasi saham, diharapkan Indonesia dapat terus maju sebagai negara yang mandiri dan mampu mengelola sumber daya alamnya dengan baik.